DEMI KURSI SENAYAN,
MENGGUNCANG INTEGRITAS
Penyelenggara pemilu, mantan pengawas pemilu, partai politik pemenang pemilu, hingga kementerian ikut terdampak skandal pengisian kursi ini. Korupsi politik jadi kata kunci, terutama saat politik masih berbiaya tinggi seperti saat ini.
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawali 2020 dengan mengungkap dugaan suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024. Empat orang ditetapkan sebagai tersangka kasus ini.
Keempat tersangka itu adalah eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan; eks calon anggota DPR dari PDI Perjuangan, Harun Masiku; eks anggota Bawaslu yang juga sempat jadi caleg PDI-P, Agustiani Tio Fridelina; dan seorang pihak swasta bernama Saeful.
![Komisioner KPU Wahyu Setiawan (tengah) mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/1/2020) dini hari. KPK menetapkan empat orang tersangka dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Rabu (8/1/2020) yakni WSE Komisioner KPU, ATF mantan anggota Bawaslu, serta HAR dan SAE dalam kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji penetapan anggota DPR Terpilih 2019-2024 dengan barang bukti uang sekitar Rp 400 juta dalam bentuk mata uang dollar Singapura dan buku rekening.](https://asset.kompas.com/crop/73x26:830x530/750x500/data/photo/2020/01/10/5e17ea1a88f7d.jpg)
Wahyu dicokok di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (8/1/2020), ketika ia hendak terbang menuju Belitung untuk keperluan pekerjaannya sebagai Komisioner KPU.
Pada hari yang sama, Agustiani ditangkap di rumahnya di kawasan Depok, Jawa Barat. KPK menemukan barang bukti berupa uang Rp 400 juta dalam bentuk dollar Singapura dan buku rekening dari penangkapan ini.
Tim KPK pun bergerak ke sebuah restoran di Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Di sana, mereka mengamankan Saeful.
Dari empat orang yang ditetapkan sebagai tersangka, hanya Harun Masiku yang tak ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan pada hari itu.
Keberadaan Harun bahkan masih menjadi misteri dan mengundang kontroversi hingga hari ini. Kejanggalan demi kejanggalan tampak dalam upaya pencarian Harun oleh KPK.
Ini catatan dari mula sampai terkini....
AWAL CERITA
KASUS ini bermula dari gelaran Pemilu 2019. Saat itu, Harun mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan I.
Dapil tersebut meliputi Kota Palembang, Musi Banyuasin, Banyuasin, Musi Rawas, Musi Rawas Utara, dan Kota Lubuklinggau.Harun bukan peraih suara terbanyak kedua di dapil itu, bahkan di antara caleg PDI-P di situ.
Ia maju melalui gerbong PDI Perjuangan. Namun, mimpi Harun menjadi anggota dewan kandas. Ia kalah perolehan suara dari Nazaruddin Kiemas, sesama politikus dari PDI-P.
Namun, Nazaruddin meninggal sebelum hari pemungutan suara, tepatnya pada 27 Maret 2019. Saat dia meninggal, namanya sudah tercetak di surat suara.
Kursi dari perolehan suara Nazaruddin pun kosong. PDI-P lantas mengusulkan nama Harun untuk menggantikan Nazaruddin.
Padahal, Harun bukan peraih suara terbanyak kedua di dapil itu, bahkan di antara caleg PDI-P di situ. Adalah Riezky Aprilia peraih suara terbanyak kedua di antara caleg PDI-P di Dapil Sumsel I.
Entah apa motif dan argumentasi di baliknya, PDI-P malah mengajukan Harun untuk ditetapkan KPU sebagai pengganti Nazaruddin.
Pada awal Juli 2019, seorang pengurus DPP PDI-P memerintahkan advokat bernama Donny Tri Istiqomah mengajukan gugatan uji materi atas Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara.
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan itu pada 19 Juli 2019. Dalam putusannya, MA menyatakan, partai adalah penentu suara dan pengganti antarwaktu.
Berbekal putusan tersebut, PDI-P mengajukan nama Harun untuk menggantikan Nazarudin sebagai anggota DPR.
Namun, KPU tak sependapat. KPU menetapkan Riezky sebagai anggota DPR, dengan argumentasi perolehan suara terbanyak kedua di antara caleg PDI-P di Dapil Sumsel I.
SIAP MAINKAN!
CERITA masih berlanjut. Tak berhenti dengan uji materi dan pengusulan Harun untuk mengisi kursi mendiang Nazaruddin Kiemas, PDI-P mengajukan pula permohonan fatwa MA pada 13 September 2019.
Lalu, pada 23 September 2019, PDI-P juga mengirimkan surat ke KPU, berisi penetapan caleg.
Belum cukup, Saeful—pihak swasta yang belakangan diketahui merupakan anak buah Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto—pun mencoba mencari jalan pintas.
![Eks anak buah Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, Saeful, meninggalkan Gedung Merah Putih KPK, Selasa (11/2/2020).](https://asset.kompas.com/crop/289x166:3266x2151/750x500/data/photo/2020/02/11/5e429485ebae1.jpg)
Saeful menghubungi Agustiani, mantan anggota Bawaslu yang juga caleg PDI-P. Dia melobi Agustiani agar Harun bisa masuk Senayan lewat mekanisme PAW.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menyebut, Agustiani menjadi pintu masuk bagi PDI-P untuk bisa melobi Komisioner KPU Wahyu Setiawan agar membantu proses PAW Harun.Wahyu disebut meminta uang operasional senilai Rp 900 juta untuk menjalankan "misinya".
"WSE (Wahyu) menyanggupi membantu dengan membalas ‘Siap, mainkan!’," kata Lili meniru ucapan Wahyu dalam konferensi pers penetapan tersangka di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (9/1/2020).
Wahyu disebut meminta uang operasional senilai Rp 900 juta untuk menjalankan "misinya" itu. Lili menyebutkan, permintaan itu sudah dua kali direalisasikan.
Realisasi pertama terjadi pada awal Desember 2019. Saat itu, kata Lili, seorang sumber dana memberikan uang Rp 400 juta untuk Wahyu melalui Agustiani, Saeful, dan Donny Tri Istiqomah.
Dari uang itu, Agustiani memberikan Rp 200 juta kepada Wahyu di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.
Lalu, realisasi kedua terjadi pada akhir Desember 2019. Harun disebut menyerahkan Rp 850 juta kepada Saeful melalui seorang staf di DPP PDI-P.
Saeful, ungkap Lili, kemudian membagi uang tersebut. Sebanyak Rp 150 juta diberikan pada Donny, Rp 450 juta pada Agustiani, dan Rp 250 juta untuk uang operasional.
![Tersangka mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/1/2020) dini hari. KPK menetapkan empat orang tersangka dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Rabu (8/1/2020) yakni WSE Komisioner KPU, ATF mantan anggota Bawaslu serta HAR dan SAE dalam kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji penetapan anggota DPR Terpilih 2019-2024 dengan barang bukti uang sekitar Rp 400 juta dalam bentuk mata uang dolar Singapura dan buku rekening.](https://asset.kompas.com/crop/14x59:891x643/750x500/data/photo/2020/01/10/5e17ea1eb3c72.jpg)
"Dari Rp 450 juta yang diterima ATF (Agustiani), sejumlah Rp 400 juta merupakan suap yang ditujukan untuk WSE, Komisioner KPU. Uang masih disimpan oleh ATF," kata Lili.
Meskipun sudah mengucurkan ratusan juta rupiah, Harun tetap gagal masuk Senayan. Lewat rapat pleno pada Selasa (7/1/2020), sehari sebelum OTT, KPU menolak permohonan PDI-P untuk menetapkan Harun sebagai anggoat DPR melalui mekanisme PAW.
Gagal meloloskan Harun, Wahyu lantas menghubungi Donny Tri Istiqomah. Ia menyampaikan telah menerima uang dan berjanji mengupayakan kembali agar Harun bisa masuk parlemen.
Hingga pada Rabu (8/1/2020), Wahyu meminta sebagian uangnya yang masih di tangan Agustiani. Bukan mendapatkan uang tersebut, alih-alih Wahyu dibekuk tim KPK.
Wahyu, Agustiani, dan Saeful yang terjaring OTT pun langsung dibawa ke tahanan setelah ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan Harun jadi buron.
MENGKHIANATI DEMOKRASI
KASUS dugaan korupsi yang melibatkan Wahyu Setiawan ini mencoreng wajah KPU dan melukai hati masyarakat.Kasus ini ibarat pengkhianatan demokrasi.
Bagaimana tidak, KPU sebagai penjaga gawang demokrasi sedianya menjaga kepercayaan rakyat dengan menghindari praktik korupsi, terlebih di jajaran pimpinannya.
Lili Pintauli menyatakan, kasus ini ibarat pengkhianatan demokrasi.
"Persekongkolan antara oknum penyelenggara pemilu dan politisi dapat disebut sebagai pengkhianatan terhadap proses demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah dan biaya yang sangat mahal," kata Lili, Kamis (9/1/2020).
Menurut Lili, proses hukum yang dilakukan KPK terhadap Wahyu merupakan bagian dari penyelamatan KPU sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar di kemudian hari.
Kritik terhadap KPU juga dilontarkan Indonesia Corruption Watch (ICW). Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz mengatakan, kasus yang menyeret Wahyu itu akan berdampak pada turunnya kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu itu.
"Terlebih lagi ada tantangan besar di depan mata untuk menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah," kata Donal, Jumat (10/1/2020).
ICW pun menilai KPU sebaiknya segera bebenah. Salah satunya, dapat melalui kerja sama dengan KPK untuk membangun whistleblowers system di internal KPU dari pusat hingga provinsi dan kabupaten/kota. Memulihkan kepercayaan publik kepada KPU tak bisa dipisahkan dari proses penyelesaian kasus ini oleh KPK.
Menurut Donal, ini bisa menjadi upaya internal KPU dalam mencegah korupsi.
Sementara itu, mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menilai, perlu strategi yang baik agar publik tetap percaya kepada KPU.
Setidaknya, kata Hadar, ada dua dampak kasus ini terhadap KPU. Yaitu, berkurangnya kinerja meskipun tidak signifikan dan berubahnya persepsi masyarakat terhadap KPU.
"Yang mungkin agak lebih berat dan kita perlu strategi yang baik, (yang) ampuh, adalah bagaimana caranya kita bisa menahan persepsi negatif dan mengembalikannya ke pandangan publik yang cukup percaya," ujar Hadar, Jumat (10/1/2020).
Ia juga mengingatkan, memulihkan kepercayaan publik kepada KPU tak bisa dipisahkan dari proses penyelesaian kasus ini oleh KPK. Atas dasar itulah, ia menilai KPU perlu bekerja sama dengan KPK.
Tak berbeda jauh dengan Hadar, Direktur Eksekutif Voxpol Pangi Syarwi Chaniago menilai kasus Wahyu telah menggembosi citra KPU.
Ia pun mengingatkan jajaran KPU mulai dari kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat, untuk menahan diri.
"Jangan coba-coba masuk ke pusaran korupsi atau jual-beli suara dan sejenisnya," kata Pangi.
Sebab, lanjut dia, kepercayaan masyarakat sangat mahal, terutama bagi KPU selaku peyelenggara pemilu. Untuk mengembalikan kepercayaan publik itu, seluruh jajaran KPU harus menunjukkan kinerja dan prestasi terbaik mereka.
Kendati demikian, KPU diyakini masih bisa memulihkan kepercayaan publik dengan memanfaatkan momen Pilkada 2020.
"Adanya Pilkada 2020 merupakan keuntungan bagi KPU untuk menjadi instrumen yang digunakan KPU untuk merebut kembali kepercayaan publik pada lembaga ini setelah serangan berat akibat OTT terhadap salah satu komisionernya," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Senin (13/1/2020).
Menurut Titi, untuk mengembalikan kepercayaan publik itu, seluruh jajaran KPU harus menunjukkan kinerja dan prestasi terbaik mereka.
Harus ada evaluasi menyeluruh atas sistem integritas yang ada di KPU dan memastikan pengawasan internal berjalan optimal dalam mencegah pelanggaran dan praktik kecurangan tidak terjadi.
KPU juga diharapkan bekerja sama dengan KPK dan instansi terkait yang relevan, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ombudsman, serta kelompok masyarakat antikorupsi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII), dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra).
Titi mendorong KPU memperbaiki pula kerja sama dengan sesama lembaga penyelenggara pemilu untuk memudahkan deteksi atas potensi terjadinya kecurangan atau pelanggaran, khususnya saat penyelenggaraan Pilkada 2020.
Forum tripartit KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), imbuh Titi, diharapkan dapat diintensifkan dan diselenggarakan secara reguler supaya pencegahan kecurangan dan manipulasi di jajaran penyelenggara pemilu menjadi efektif.
Tak hanya itu, KPU juga diminta membangun tata kelola lembaga yang lebih bersih melalui penguatan manajemen pemilu dan pilkada yang terbuka, transparan, dan akuntabel. Terlebih lagi, kasus dugaan korupsi yang melibatkan komisioner KPU bukan kali ini saja.
Berdasarkan penelusuran Kompas.com, Wahyu adalah komisioner kelima KPU yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. Empat komisioner lain adalah Rusadi Kantaprawira, Nazaruddin Sjamsuddin, Mulyana W Kusuma, dan Daan Dimara.
Berbeda dengan kasus Wahyu, empat komisioner lain itu terjerat kasus korupsi terkait pengadaan barang dan jasa di bidang kepemiluan. Perkara mereka juga telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
AKHIR CERITA WAHYU DI KPU
ATAS kasus ini, Ketua KPU Arief Budiman meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia.
KPU pun memberhentikan sementara Wahyu, mengikuti ketentuan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Meskipun, UU ini mengatur, pemberhentian sementara dilakukan saat personel KPU menjadi terdakwa dalam suatu perkara.
Namun, semua orang yang ditetapkan KPK menjadi tersangka hampir pasti menjadi terdakwa.
Penetapan Wahyu sebagai tersangka ini kemudian dilaporkan KPU ke Presiden Joko Widodo, DPR, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Arief juga mengingatkan penyelenggara pemilu di daerah untuk menjaga integritas. Ini terkait pula dengan jadwal Pilkada Serentak 2020.
"Saya ingin sampaikan kepada KPU provinsi, kabupaten, dan kota untuk lebih meningkatkan kewaspadaan, mawas diri, dan jauh lebih menjaga integritasnya, karena ada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di 270 daerah tahun ini. Itu cukup penting bagi bangsa ini," kata Arief, Kamis (9/1/2020).
KPU, imbuh Arief, akan membuat surat edaran (SE) yang disampaikan kepada semua penyelenggara pemilu di daerah agar kasus Wahyu menjadi pelajaran bagi penyelenggara pemilu.
Arief menegaskan pula, KPU menyatakan siap bekerja sama dengan KPK terkait kasus ini. KPU juga tidak memberikan bantuan hukum kepada Wahyu.
Keesokan harinya, Jumat (10/1/2019), Wahyu mengumumkan pengunduran dirinya sebagai anggota KPU periode 2017-2022. Surat pengunduran dirinya ditujukan kepada Presiden dan salinannya diberikan kepada DPR dan DKPP.
Sumber:https://jeo.kompas.com/skandal-wahyu-setiawan-dan-harun-masiku-demi-kursi-senayan-mengguncang-integritas
Komentar
Posting Komentar