Tim Baleg DPR RI menghilangkan kata 'Penghapusan' pada judul draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Draf terbaru ini juga hanya mengakui 4 jenis kekerasan seksual yang semula ada 9 jenis.
Kata 'Penghapusan' di dalam draf RUU tentang PKS dihapus dan diganti dengan 'Tindak Pidana' yakni menjadi Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Tim Ahli Baleg beralasan menggunakan frasa itu karena mengambil pendekatan hukum bahwa kekerasan seksual merupakan Tindakan Pidana Khusus.
Berikut ini merupakan substansi yang hilang dalam Draf baru RUU PKS dari Baleg DPR RI :
1. Hilangnya Jaminan Hak, Pemulihan, dan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual
RUU PKS hadir dengan tujuan untuk menjawab kebutuhan korban akan jaminan perlindungan dan pemulihan.
Sebaliknya, proses peradilan pidana masih berorientasi pada pemenuhan hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana.
Tidak ada ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan. Hal ini dapat menghilangkan jaminan pemenuhan hak korban selama proses peradilan pidana.
2. Penghapusan Ketentuan Tindak Pidana Perkosaan, Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Penyiksaan Seksual, dan Perbudakan Seksual
Naskah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi BALEG DPR RI hanya memuat 4 bentuk kekerasan seksual.
Keempat bentuk tersebut yakni Pelecehan seksual (fisik dan non fisik), Pemaksaan Kontrasepsi; Pemaksaan Hubungan Seksual dan Eksploitasi Seksual.
Sementara pada naskah RUU PKS, masyarakat sipil merumuskan 9 bentuk kekerasan seksual.
Sembilan bentuk tersebut terdiri dari pelecehan Seksual, perkosaan, pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Kontrasepsi, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Penyiksaan Seksual, Perbudakan Seksual, dan Eksploitasi Seksual
Ketiadaan pengakuan dan pengaturan ragam bentuk kekerasan seksual tersebut adalah bentuk invalidasi terhadap pengalaman korban kekerasan seksual serta pengabaian terhadap hak korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.
3. Penghalusan Definisi Perkosaan
Pada dasarnya, segala kekerasan seksual adalah hubungan seksual yang tidak didasari dengan persetujuan dalam keadaan bebas karena suatu faktor.
Dengan kata lain, “pemaksaan hubungan seksual” yang dimaksud dalam upaya penghalusan bahasa/eufemisme kata “perkosaan” merupakan suatu sesat pikir (logical fallacy). Penghalusan bahasa akan berdampak negatif pada pemaknaan peristiwa tersebut.
4. Kosongnya Pengaturan Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO)
Berdasarkan publikasi SAFEnet, terdapat 620 laporan kasus KBGO yang dilaporkan kepada SAFEnet selama tahun 2020. Jumlah laporan tersebut merupakan hasil peningkatan sebesar sepuluh kali lipat dibandingkan tahun 2019.
Kosongnya pengaturan KBGO dalam draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi BALEG DPR RI merupakan langkah tidak strategis yang tidak mempertimbangkan realitas kasus KBGO dimasyarakat.
5. Kosongnya Pengaturan untuk Penanganan Korban Kekerasan Seksual dengan Disabilitas
Naskah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi BALEG DPR RI tidak mengakomodir kepentingan dan kebutuhan khusus korban dengan disabilitas.
Padahal, berdasarkan fakta, korban kekerasan seksual dengan disabilitas memiliki kebutuhan yang khusus dan berbeda-beda, termasuk aksesibilitas informasi Juru Bahasa Isyarat atau pendampingan psikologis yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Masing-masing ragam disabilitas memiliki kebutuhan dan pendekatan penanganan yang berbeda mulai dari pelaporan, penanganan hingga pemulihannya.
Oleh karena itu, KOMPAKS menuntut pada BALEG DPR RI untuk :
1. Membuka ruang usulan perubahan naskah dan ruang diskusi yang melibatkan masyarakat sipil dalam perumusan naskah RUU PKS;
2. Memasukkan ketentuan yang mengakomodir kepentingan korban yakni pemenuhan hak perlindungan, hak pendampingan, dan hak pemulihan korban sebagaimana yang diusulkan melalui naskah akademik dan draf RUU PKS yang disusun oleh masyarakat sipil;
3. Memasukkan kebutuhan khusus korban dengan disabilitas dalam aspek pencegahan, penanganan, dan pemulihan kekerasan seksual;
4. Memasukkan ketentuan tindak pidana Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Perbudakan Seksual dan Kekerasan Seksual Online sebagai bentuk pengakuan terhadap pengalaman korban kekerasan seksual yang beragam dan upaya penanganan kasus kekerasan seksual yang lebih komprehensif; dan
5. Mengubah definisi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual menjadi tindak pidana perkosaan.
Sementara itu, Willy Aditya, Ketua Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Baleg DPR, mengatakan bahwa baik korban maupun pelaku kekerasan seksual sama-sama perlu direhabilitasi. Menurutnya, pelaku perlu mendapatkan rehabilitasi karena mereka juga memiliki trauma kekerasan di masa lalu.
Namun, rasionalitas dari ketentuan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual yang dimasukkan ke draf RUU PKS dipertanyakan oleh Veni Siregar, koordinator Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan.
Menurut Veni, tidak semua pelaku kekerasan seksual memiliki trauma sebagai korban kekerasan di masa lalu seperti apa yang diklaim Willy Aditya. Sehingga ketentuan mengenai tindakan rehabilitasi untuk pelaku kekerasan seksual tidak perlu ada di dalam RUU PKS.
Veni mengatakan bahwa ketentuan rehabilitasi sebenarnya sudah diatur di dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016 sehingga tidak perlu diulang lagi di dalam RUU PKS.
Menurutnya, tidak adil ketika hak-hak pelaku kekerasan semakin diperkuat di dalam draf RUU PKS terbaru, sedangkan hak-hak korban justru diperlemah.
Sumber :
https://news.detik.com/berita/d-5708477/judul-ruu-pks-diganti-draf-baru-hanya-akui-4-jenis-kekerasan-seksual/2
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/parapuan/read/532871043/ruu-pks-dipangkas-85-pasal-dan-diubah-judul-ini-kata-kompaks
https://www.tempo.co/dw/5672/rehabilitasi-pelaku-kekerasan-seksual-di-ruu-pks-hak-pelaku-semakin-kuat
Komentar
Posting Komentar