Utang pemerintah di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus mengalami kenaikan, baik di periode pertama maupun periode kedua pemerintahannya. Artinya lonjakan utang memang sudah terjadi jauh sebelum pandemi Covid-19.
Sebelum menjadi Presiden RI jelang kontestasi Pilpres, Tim Kampanye Jokowi sendiri dalam beberapa kesempatan melontarkan wacana untuk mengurangi jumlah utang pemerintah.
Namun bukannya berkurang, utang pemerintah justru terus mengalami kenaikan. Bahkan dalam kurun waktu 2014 hingga 2019, pemerintah sudah mencetak utang baru sebesar Rp 4.016 triliun.
Kementerian Keuangan melaporkan hingga akhir Agustus 2021, posisi utang pemerintah mencapai Rp 6.625,43 miliar atau setara dengan 40,85% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Dalam buku APBN Kita edisi September 2021, dijelaskan utang pemerintah pada Agustus 2021 bertambah Rp 55,27 triliun jika dibandingkan dengan posisi Juli 2021.
Kenaikan utang Indonesia, lanjut Sri Mulyani terutama disebabkan adanya kenaikan utang dari Surat Berharga Negara (SBN) domestik sebesar Rp 80,1 triliun, sementara utang SBN dalam valuta asing mengalami penurunan Rp 15,42 triliun.
Pemerintahan Jokowi perlu mengerem penambah utang agar utang Indonesia tidak terus meningkat dan membebani APBN.
Dalam paparannya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan meski utang Indonesia terus meningkat, tapi masih terkendali. Selain itu, tidak hanya Indonesia yang mengalami peningkatan utang.
Di tengah pandemi Covid-19, hampir semua negara terutama negara berkembang mengalami peningkatan utang akibat adanya peningkatan belanja terutama untuk sektor kesehatan seperti penyediaan vaksin, infrastruktur kesehatan dan hal lain yang terkait dengan kesehatan serta perlindungan sosial bagi masyarakat.
Sependapat, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan, peningkatan utang pada bulan Agustus 2021 tersebut masih relatif aman dan terukur. Apalagi, di tengah kondisi perjuangan Indonesia melawan Covid-19.
“Dengan berbagai macam kebutuhan, sosial, kesehatan, posisi ini masih dibenarkan, masih fair. Belum ada lampu merah untuk posisi utang yang saat ini, karena banyak negara juga yang lebih buruk,” ujar Riefky kepada Kontan.co.id, Senin (27/9).
Meski begitu, Riefky mengingatkan agar Indonesia tetap waspada. Apalagi, mulai akhir tahun ini sudah mulai ada wacana penerapan pengetatan kebijakan moneter (tapering off) dari The Federal Reserve.
Kalau misal tapering off ini terjadi, maka bukan tak mungkin akan membawa dampak pada kondisi rupiah, sehingga implikasinya pada currency risk dan meningkatkan utang berdenominasi asing. “Kalau situasinya begini, apalagi kepemilikan SBN ini porsi asing masih besar, bisa saja uang yang kita keluarkan untuk pembayaran bunga utang makin besar,” kata Riefky.
Dalam hal ini, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) juga harus berupaya dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah agar depresiasinya tidak terlalu tinggi.
Namun, Riefky masih tetap optimistis nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran Rp 14.300 hingga Rp 14.500 per dollar AS di tahun depan, karena kondisi fundamental yang masih baik dan BI masih memiliki bantalan cadangan devisa yang kuat untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.
Selain itu, ini juga dengan catatan kondisi ekonomi Indonesia terus membaik dan tidak ada peningkatan kasus harian signifikan lagi sehingga perekonomian lebih cepat pulih.
Semoga saja, utang pemerintah Indonesia di bawah kendali Jokowi-Ma'ruf Amin bisa dikurangi bersamaan dengan penurunan kasus Covid-19.
Komentar
Posting Komentar