Permendikbud Menuai Kontroversional! Berikut Beberapa Pihak yang Setuju dan Menolaknya. (Mahasiswa Wajib Tahu)


 

Permendikbud No 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi disorot dan jadi kontroversi. Ada yang menuding aturan ini seakan melegalkan zina.

Kemendikbud-Ristek pun membantah soal tudingan yang diarahkan terhadap Permen PPKS itu. Diketahui Permendikbud ini diteken oleh Mendikbud-Ristek langsung, yaitu Nadiem Makarim.

Lalu apa saja isi Permendikbud No 30 Tahun 2021 yang membuat kontroversi? bagaimana tanggapan dari Kemendikbud-Ristek? 

Isi Permendikbud No 30 tahun 2021 yang Jadi Kontroversi

Ada beberapa pasal yang jadi sorotan yaitu:

  • Pasal 1 (ayat 14) tentang Kewajiban Pembentukan Satuan Tugas, yang berbunyi:

14. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang selanjutnya disebut Satuan Tugas adalah bagian dari Perguruan Tinggi yang berfungsi sebagai pusat Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

  • Pasal 3 tentang Prinsip Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilaksanakan dengan prinsip:
a. kepentingan terbaik bagi Korban;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas;
d. akuntabilitas;
e. independen;
f. kehati-hatian;
g. konsisten; dan
h. jaminan ketidakberulangan.

  • Pasal 5

(1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
i. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian
tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
n. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
r. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
s. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
(3) Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m,
dianggap tidak sah dalam hal Korban:
a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
g. mengalami kondisi terguncang.

Dukungan terhadap Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim mengalir terkait Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Gelombang dukungan ini muncul ketika sejumlah pihak mengkritik Permendikbud 30 tersebut.

Pihak yang menyetujui :

Pengurus BEM Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM) Andi Rahmi Utami, misalnya. Rahmi mengatakan pihaknya telah menelaah Permendikbud tersebut. BEM FBS menyatakan mendukung aturan ini.

"BEM mendukung adanya permendikbud ini. Kemarin di kajian lebih banyak membahas mekanisme pemilihan panitia dan satgas. Dan kami di BEM sementara buat SOP penanganan (kasus) kekerasan seksual," kata Rahmi, Kamis (11/11).

Dukungan terhadap Permendikbud PPKS ini juga datang dari mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas). Presiden BEM Fakultas Hukum Unhas, Taufik Kurniawan memandang Permendikbud ini merupakan satu bentuk terobosan mencegah dan menindak terjadinya kekerasan seksual di kampus.

Menurut Taufik, dalam Permednikbud ini, mahasiswa dilibatkan menjadi unsur utama dalam kebijakan pembentukan Pansel dan satuan tugas (Satgas).

Sementara, Institut Teknologi Bandung (ITB) juga menyambut kehadiran Permendikbud PPKS ini. Rektor ITB, Reini Wirahadikusumah mengaku ITB sudah lama menanti kehadiran aturan pencegahan kekerasan seksual di kampus dari pemerintah pusat.

ITB kemudian menerbitkan aturan mengenai pencegahan dan penanganan seksual di kampus setelah Mendikbud Ristek, Nadiem menerbitkan Permendikbud Ristek PPKS.

Tidak hanya dari kalangan akademisi, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan akan menerbitkan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemenag yang ditujukan kepada Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri di seluruh Indonesia agar mendukung kebijakan Nadiem itu.

Yaqut mengaku satu pendapat dengan Nadiem. Mereka sama-sama memandang kekerasan seksual menghalangi tercapainya tujuan pendidikan. Ia meminta masyarakat agar tidak menutup mata dengan kekerasan seksual mengingat banyaknya kasus tersebut terjadi di perguruan tinggi.

Terpisah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyatakan Permendikbud Ristek PPKS itu sejalan dengan perlindungan hak manusia.

"Substansi dari Permendikbud Ristek itu sejalan dengan penghormatan dan perlindungan HAM dan memiliki perspektif keadilan gender yang kuat," kata Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin Al Rahab dalam keterangan tertulisnya, Kamis (11/11).

Koalisi Perempuan Indonesia ikut merespons terkait sejumlah pihak yang menentang Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati pun menyayangkan hal tersebut.

Mike mengatakan, pihaknya tidak menemukan adanya klausul dalam aturan tersebut yang berpotensi melegalkan zina.

"Karena menurut Koalisi Perempuan Indonesia, zina dan kekerasan seksual itu sesuatu hal yang berbeda ya, dan tidak bisa dicampuradukkan gitu ya," kata Mike pada Rabu (10/11/2021).

Pihak yang menolak :

Adapun sejumlah pihak menolak Permendikbud 30/2021 karena dinilai melegakan perzinahan di lingkungan kampus.

Kali ini penolakan datang dari Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Ibrahimy (UNIB), Jawa Timur Prof Muhammad Baharun.

Karena kata Prof Muhammad Baharun yang juga Ketua Komisi Hukum MUI periode 2010-2020, Permendikbud itu, selain tidak mencerminkan keberagamaan kita sebagai bangsa, juga berlawanan dengan budaya kita. 

"Terasa aroma liberal dalam peraturan yang mestinya melibatkan banyak pihak itu. Ini jelas bukan solusi malah melukai moderasi beragama yang sudah kita tumbuhkan bersama," katanya.

Untuk itu, Prof Muhammad Baharun menyarankan Menteri yang menerbitkan Permendikbud itu segera mencabutnya, karena pasti akan mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat.

Prof Muhammad Baharun mengatakan, sebagai anak bangsa, kita memang harus mendukung moderasi, yang bahasa agamanya Washatiyah itu. Namun jangan pakai metode liberalisme, karena akan gagal, dan pastinya tidak akan efektif. 

"Liberalisme sudah ditengarai mengandung muatan Islamofobia," katanya.

Saat ini kata Prof Muhammad Baharun, umat berharap Menteri Agama Yaqut Cholil tidak mendukung Permendikbud itu. Seharusnya Menag memberikan koreksinya bukan malah mendukungnya.

"Menag jangan dukung Permendikbud kali ini. Justru seharusnya mengoreksi, sehingga peraturan yang diterbitkan benar-benar sesuai dengan aspirasi umat," katanya.

IJTIMA Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia VII, meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) terkait permen No. 30 Tahun 2021 dicabut atau direvisi.

Hal tersebut disampaikan, Asrorun Niam Sholeh, Ketua MUI Bidang Fatwa dalam forum ijtima ulama yang digelar sejak Selasa 9 November hingga Kamis 11 november 2021.

"Meminta kepada pemerintah agar mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi/merevisi, dengan mematuhi prosedur pembentukan peraturan sebagaimana ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 yang telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019," ujarnya melalui keterangan yang diterima awak media, Kamis (11/11).

Kendati demikian MUI juga mengapresiasi niat baik dari Mendikbudristek untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi.

Asrorun Niam juga menyampaikan bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari urusan kebangsaan dan keumatan. Karenanya, para ulama memiliki tanggung jawab dalam memberikan arah bagi perbaikan bangsa secara terus menerus seiring dengan peran dakwah yang berkelanjutan tanpa jeda.

Muhammadiyah menolak penerapan Permendikbud Ristekdikti Nomor 30 tahun 2021. Menurut Muhammadiyah, peraturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus ini dikhawatirkan memicu perilaku seks yang dilarang dalam ajaran agama Islam.

Sekretaris Majelis Diktilitbang Muhammadiyah, Muhammad Sayuti, mengaku pihaknya menolak penggunaan frasa tanpa persetujuan korban yang terdapat pada pasal 5 Permendikbud Ristekdikti Nomor 30 tersebut.

Dia menilai frasa tersebut dikhawatirkan menjadi alasan seks bebas jika ada suka sama suka antar kedua belah pihak. 
Permendikbud ristekdikti tersebut bertujuan untuk mencegah kekerasan seksual di Kampus, Muhammadiyah khawatir Permendikbud tersebut dijadikan alasan legal seks bebas.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Abdul Fikri Faqih menolak keras Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan teknologi atau Permendikbud No 30 Tahun 2021.

Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul itu juga menilai aturan tersebut tidak dikenal di dalam norma hukum di Indonesia.

Ia menyebutkan hubungan seksual yang dilegalkan Undangan-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam pernikahan atau hubungan suami istri.

Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, menolak Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

“Saya dukung 13 ormas Islam dan Fraksi PKS serta masyarakat luas yang secara terbuka, argumentatif, dan konstitusional menolak Permendikbud 30/2021. Dan ini menambah daftar panjang aturan kontroversial yang dikeluarkan oleh Mendikbud,” ujar HNW.

Tidak hanya itu, ia juga meminta Presiden Jokowi untuk menegur Menteri Nadiem karena dia nilai membuat aturan kontroversial. Terkait Permendikbud, Hidayat menyarankan agar peraturan ditarik dan segera direvisi.

“Selain peraturan tersebut yang harus segera ditarik dan direvisi, saya juga mendesak Presiden Jokowi untuk menegur Mas Menteri Nadiem agar kejadian serupa tak terus berulang,” 

“Sangat jelas ketentuan-ketentuan dalam Permendikbud tersebut masih menggunakan paradigma kekerasan dan persetujuan dalam hal aktivitas seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Sehingga ketentuannya masih menghadirkan sanksi bila ada kekerasan dan bila tidak terjadi persetujuan,” jelas politikus PKS tersebut.

“Permen seperti itu jadi seperti melegalkan praktik seks bebas, zina, dan LGBT di kampus dengan dalih tidak adanya kekerasan dan hadirnya persetujuan dua pihak,” lanjut politikus asal DKI itu

HNW tetap mendukung Kemendikbud untuk mencegah kekerasan seksual di institusi pendidikan. Namun, itu harus dilakukan sesuai nilai dan norma yang ada di Indonesia.




Sumber:

https://awscdn.detik.net.id/assets/fonts/montserrat/Montserrat-Bold.woff2

https://plus.google.com/+Cnnindonesiadotcom/

https://www.tribunnews.com/nasional/2021/11/10/pro-kontra-permendikbud-302021-dianggap-legalkan-zina-ini-tanggapan-koalisi-perempuan-indonesia

https://fonts.googleapis.com/css?family=Roboto:400,900&display=swap

https://mediaindonesia.com/humaniora/446269/komisi-fatwa-mui-minta-permendikbud-no-30-tahun-2021-dicabut

https://www.tvonenews.com/channel/news/47083-muhammadiyah-menolak-keras-permendikbud-302021

https://pojoksatu.id/news/berita-nasional/2021/11/09/pks-tolak-keras-permendikbud-no-30-tahun-2021-aturannya-jelas-tidak-sesuai-budaya-hukum-indonesia/

https://m.kumparan.com/kumparannews/hnw-tolak-permendikbud-30-segera-tarik-dan-tegur-nadiem-1wsb30OkSrM

Komentar