Wacana Pemilu 2024 Semakin Liar: Mungkinkah Ini Siasat Pemerintah?

 



Jakarta - Sekitar seminggu setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) meluncurkan hari dan tanggal pemungutan suara Pemilu Serentak 2024, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengeluarkan pernyataan publik mengusulkan penundaan pemilu.  Pernyataan itu jadi antiklimaks dan berlangsung tarik menarik antara KPU, pemerintah, dan DPR sampai satu tahun lebih --sebelum akhirnya jelang pengujung Januari 2022 disepakati bahwa pemungutan suara akan dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024.

Setelah keluarnya keputusan tersebut, muncul lah wacana- wacana penundaan pemilu yang dilontarkan oleh beberapa elite partai politik. Meski sikap sebagian besar elite parpol lainnya menolak usulan tersebut, wacana penundaan pemilu ini masih menimbulkan tanda tanya, sebenarnya dari manakah pesan penundaan pemilu ini berasal. Terlebih, momentum pandemi Covid-19 dan tingginya beban biaya pemilu menjadi alasan yang cukup rasional bagi sebagian masyarakat.

Penundaan pemilu memang diatur dalam hukum pemilu Indonesia. Istilahnya "pemilu lanjutan dan pemilu susulan". Pasal 431 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilu lanjutan. Selanjutnya Pasal 432 ayat (1) menyebut apabila akibat faktor-faktor di atas seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka dilakukan pemilu susulan.

UU Pemilu tidak membuka peluang penundaan tahapan pemilu karena sesuatu yang sifatnya antisipatif, prediktif, apalagi alasan ingin menjaga stabilitas ekonomi. Selain itu, konstruksi penundaan tahapan pemilu dalam UU Pemilu harus dipahami dan ditempatkan dalam bingkai Konstitusi. Di mana Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya presiden dan wakil presiden masa jabatannya dalam satu periode adalah lima tahun, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang.

Selanjutnya ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD menegaskan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Keberkalaan atau keteraturan pemilu eksplisit diatur Konstitusi. Sehingga pemilu lanjutan dan pemilu susulan tetap berada dalam bingkai pembatasan masa jabatan Presiden selama lima tahun dan penjadwalan pemilu periodik setiap lima tahun sekali.

Kredibilitas Demokrasi

Sementara yang terjadi saat ini, belum juga terbit Peraturan KPU tentang tahapan, program, dan jadwal Pemilu 2024, elite sudah terlebih dahulu mewacanakan penundaan pemilu plus perpanjangan masa jabatan. Sangat kentara motif dan tujuannya yang tidak menghendaki pemilu terselenggara secara tepat waktu. Dengan demikian, bila dikorelasikan dengan pengaturan yang ada dalam UU Pemilu dan UUD, maka hal itu tidak bisa lagi dibaca sebagai penundaan pemilu. Argumennya, sesuatu bisa disebut sebagai penundaan pemilu apabila tahapan pemilu telah ditetapkan, namun tidak bisa terlaksana sebagian atau seluruhnya karena terjadi peristiwa darurat atau force majeure (keadaan kahar) yang tak bisa dihindari.

Sedangkan yang disampaikan Muhaimin Iskandar dan kawan-kawan lebih tepat disebut pemunduran pemilu. Sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemilu tidak terlaksana secara periodik setiap lima tahun sekali. Pemunduran pemilu didesain dalam rangka menambah masa jabatan melampaui batas yang ditentukan konstitusi, tanpa harus bersusah payah memperoleh legitimasi rakyat melalui pelaksanaan pemilu (term limit evasion).

----------------

Sumber:

https://images.app.goo.gl/Z7vH2KpxwNpPnZz27

https://news.detik.com/kolom/d-5993094/siasat-pemunduran-pemilu-demi-perpanjangan-masa-jabatan

https://news.detik.com/kolom/d-5993192/mungkinkah-pemilu-ditunda

Komentar